Kode etik adalah sebuah landasan norma moral, etis, dan filosofis yang menjadi dasar pegangan serta rambu-rambu setiap penyelenggara Pemilu, etika penylenggara pemilu sendiri indikatornya adalah patut atau tidak patut, larangan yang diucapkan dan perilaku tindakan yang bisa mencoreng integritas seorang penyelenggara. Kode etik bagi penyelenggara sudah diatur dalam peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Etika menjadi standar nilai kepatutan dan kepantasan seorang penyelenggara pemilu dalam berperilaku. Ia mengisi ruang-ruang kosong yang tidak diisi oleh aturan hukum. Berbeda dengan sanksi hukum yang bermaksud untuk menyakiti pelaku, sanksi dari kode etik untuk menjaga kehormatan dan kepercayaan publik terhadap institusi.
Penyelenggara pemilu selayaknya dan sepatutnya menjaga integritasnya dengan baik karena kedepannya agar tidak terjerumus terhadap perbuatan yang tercela dan tidak patut, sebagai contoh, kasus Putusan DKPP Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024 yang memutuskan pemberhentian tetap terhadap Ketua KPU RI terkait pelanggaran Kode Etik Penyelenggara.
Persoalan asusila merupakan ranah privat, akan tetapi jika dilakukan oleh seorang penyelenggara pemilu yang bertanggungjawab kepada publik untuk bertindak sesuai etika yang telah ditetapkan penyelenggara pemilu, maka kepentingan publik harus menjadi prioritas karena masyarakat tidak hanya menuntut agar penyelenggara pemilu cakap dalam persoalan kepemiluan tetapi juga dituntut agar memiliki moral yang baik.
Terlepas apakah memiliki kesadaran untuk mengamalkannya atau tidak, penyelenggara pemilu “dipaksa” untuk mematuhi aturan-aturan etik. Ini merupakan konsekuensi logis dari sumpah jabatan dan komitmen mereka sedari awal sebagai penyelenggara pemilu. Tentunya hal ini menjadi sebuah warning terhadap seluruh penyelenggara pemilu baik ditingkat pusat sampai ke jajaran di daerah baik di Provinsi dan Kabupaten/Kota agar selalu menjaga perilaku serta etika dalam bertugas sebagai penyelenggara pemilu.
Penyelenggara pemilu sudah seharusnya berpegang pada prinsip : jujur, mandiri, akuntabel, berkepastian hukum, aksesbilitas, tertib, terbuka, profesional, proposional, efektif, efesien, dan kepentingan umum dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab. Kasus pelanggaran etik karena tindakan asusila yang menyeret Ketua KPU RI telah membuka tabir kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu.
Sungguh ironis, mengingat kasus ini tidak hanya membahayakan korban tetapi juga, mengancam demokrasi negara kita. Tindakan asusila dengan dimensi relasi kuasa menunjukkan adanya penyalahgunaan dan penyimpangan kekuasaan. Itu terjadi manakala seseorang yang memiliki posisi dan atau kuasa yang lebih tinggi telah memaksakan kehendaknya kepada orang yang posisi dan atau kuasanya lebih rendah.
Putusan DKPP RI telah memperlihatkan bahwa KPU memang memiliki masalah internal yang akut. Banyak kebijakan yang aneh atau tak sesuai dengan nilai, prinsip, serta norma pemilu yang baik dan benar. Kontroversi KPU barangkali sedikit banyaknya dipengaruhi oleh perilaku tak terpuji yang selama ini tidak terungkap ke publik. Kasus ini haruslah dijadikan peringatan sekaligus pembelajaran bagi semua pihak termasuk pemegang kekuasaan untuk selalu menjaga moralitas dan integritas.
Kedepan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memiliki tugas berat sebagai penyelenggara pemilu dimana harus mengembalikan kepercayaan publik. Sudah waktunya KPU berbenah, memperbaiki diri, tingkatkan profesional serta independen terutama dalam melaksanakan tahapan Pilkada 2024. Penyelenggara yang berintegritas adalah kunci keberhasilan pelaksanaan pemilu dan pilkada yang lebih baik. (Opini)