TARAKAN, KATA NALAR – Pemerhati demokrasi, Muhammad Taufik Akbar menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melonggarkan aturan syarat pencalonan pilkada menguatkan legitimasi suara rakyat hasil Pemilu 2024.
Putusan MK dengan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora ini memang hanya mengabulkan sebagian gugatan. Namun, putusan yang merevisi pasal 40 ayat 1 undang-undang pilkada itu berdampak signifikan bagi kontestasi demokrasi di daerah dan membuka kesempatan lebih luas bagi setiap partai yang mendapat memeroleh suara rakyat saat pemilu lalu bisa untuk mengusung calonnya meski tidak memiliki kursi di DPRD.
“Kalau kita melihat putusan MK ini positif bagi proses demokrasi yang kemarin sudah berjalan. Karena dia mengakomodir seluruh suara rakyat jadi nggak ada suara terbuang sia-sia,” ujar Taufik saat diwawancarai katanalar.com.
Kata Taufik, berdasarkan putusan MK ini maka suara hasil Pemilu 2024 lalu oleh para pemilih saat mencoblos itu tidak ada terbuang, semua terhitung akumulasi suara sah. Sehingga hal itu sangat menguatkan legitimasi suara rakyat.
“Artinya apa, kemarin hanya kursi parlemen saja yang dihitung 25 persen. Padahal, saya pernah iseng-iseng menghitung 25 persen (syarat pencalonan lewat kursi) itu disandingkan dengan 20 persen (syarat pencalonan lewat) perolehan suara kursi, kurang lebih sama,” urai mantan anggota KPU Tarakan ini.
Menurutnya, jika menggunakan aturan sebelum putusan MK, 25 persen syarat pengusungan lewat perolehan kursi punya tafsir yang sama dengan 20 kursi. Namun, dengan adanya putusan MK itu dinilai membawa angin segar bagi seluruh partai politik sehingga bisa mengambil peran strategis dalam agenda-agenda politik ke depan, khususnya pilkada.
Menariknya, kata dia, di penghujung proses ini, ada perbandingan 20 persen kursi dengan 10 persen suara sah itu secara signifikan jomplang. Sebab, secara hitung-hitungan, menurutnya, jauh lebih mudah ketika 10 persen perolehan suara sah dijadikan syarat pengusungan calon.
“Karena misal, ada 1 partai politik parlemen yang kemudian lolos tapi kemudian dia tidak punya kekuatan politik untuk mengusung salah satu calon kan tidak bisa jadinya. Tapi ketika dia melakukan konsolidasi dengan partai politik yang tidak lolos, tidak perlu mengambil suara yang terlalu besar. Dia tidak menghitung partai politik tapi hitungan suara sah.
Taufik menyebutkan cukup luar biasa, apabila syarat 20 persen jumlah kursi itu diterjemahkan dalam hitungan suara sah, maka sangat berpotensi melahirkan beberapa calon di pilkada. Karena 20 persen kursi bisa jadi 20 persen suara sah atau bahkan bisa lebih.
“Ini hitung lah misalnya dengan beberapa suara partai politik besar dengan suara puluhan ribu, dengan kalau hitungan Kaltara itu cuma kalau suara sah nya 380-an ribu, berarti (10 persennya) 38 ribu. Kalau di Tarakan 132 ribu, itu kan hanya 13 ribu tiga ratus (10 persen) hitungannya. Itu suara sah sangat diuntungkan, sangat bisa mengakomodir berapa calon,” sebutnya.
Disinggung terkait fenomena terjadinya potensi calon tunggal atau kotak kosong dibeberapa daerah sebelum adanya putusan MK ini, Taufik menilai banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, tidak hanya faktor syarat pencalonan lama tapi juga faktor ketokohan dan pendanaan.
“Kalau kita bicara politiknya tidak serta merta 10 persen suara sah ini, karena ada faktor yang lain. Faktor ketokohan, ada juga pendanaan, kekuatan finansial yang tentu jadi pertimbangan, termasuk komunikasi politik. Untuk melakukan simpul-simpul politik, kekuatan basis ke bawah itu kan menjadi pertimbangan ketika kita menyandingkan ini dengan putusan MK,” katanya.
Taufik juga mengimbau kepada seluruh pihak agar menunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan aturan teknis menindaklanjuti putusan MK tersebut berupa Peraturan KPU (PKPU) dan petunjuk teknis (Juknis).
“Setelah ada PKPU akan ada Juknis juga, itu kemudian yang akan dijadikan pedoman dalam proses pendaftaran yang berlangsung 27 sampai 29 Agustus nanti dengan memberikan kejelasan yang lebih detail terkait putusan MK ini yang mungkin akan dilakukan revisi menyesuaikan putusan MK ini,” pungkasnya. (*)