Dark
Light
7 bulan ago
44 views

Putusan Caleg Rais Dinilai Cacat Hukum, Pelapor Akan Laporkan Bawaslu ke DKPP

Ketua Bawaslu Tarakan, Riswanto (tengah), anggota Bawaslu Tarakan, Johnson (kiri), dan anggota Bawaslu Tarakan, Muhammad Saifullah (kanan) saat menjadi Majelis Hakim sidang adjudikasi Bawaslu Tarakan.

TARAKAN, KATA NALAR – Bawaslu RI mengeluarkan putusan sidang hasil koreksi pada 27 Mei 2024 terkait dugaan pelanggaran administrasi Caleg Gerindra Dapil Tarakan Barat, Muhammad Rais. Putusan itu menguatkan putusan sidang Bawaslu Tarakan yang menolak seluruh laporan yang dilayangkan pelapor pada 13 Mei 2024 lalu.

Menanggapi putusan tersebut, pihak pelapor Hidayat menilai putusan itu cacat hukum. Melalui kuasa hukumnya, pelapor pun berniat melaporkan pihak Bawaslu Tarakan dan Bawaslu RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Kuasa hukum pelapor, Alif Putra Pratama membeberkan sejumlah alasan keberatan atas putusan tersebut. Kata dia, berdasarkan fakta persidangan di Bawaslu Tarakan beberapa waktu lalu, tidak ada satu pun bukti yang memperlihatkan surat pengunduran diri Muhammad Rais dari Partai Berkarya.

“Pada tanggal 29 april 2024 itu dimulailah persidangan di Bawaslu Tarakan terkait dugaan pelanggaran administrasi pemilu ini yang kemudian diputus di tanggal 13 mei 2024. Selama persidangan, berdasarkan fakta persidangan bahwa dari jawaban terlapor, kemudian bukti surat dan saksi-saksi itu tidak pernah ada satu pun dari pihak terlapor yang menunjukkan bahwa terlapor telah mengajukan surat pengunduran diri dari partai berkarya. Tidak pernah sama sekali,” ujar Alif.

Anehnya, kata dia, yang memunculkan surat pengunduran diri terlapor adalah Majelis Hakim persidangan. Pihaknya lantas mempertanyakan dari mana Majelis Hakim membenarkan adanya surat pengunduran diri terlapor.

“Nah yang memunculkan surat pengunduran diri pada saat itu adalah Majelis Hakim di Bawaslu Tarakan. Permasalahannya kita pertanyakan kemudian pengunduran itu munculnya dari mana apakah dari terlapor atau dari KPU atau dibuat-buat oleh Bawaslu, kenapa kita sampaikan begitu, pada saat selama proses persidangan tidak pernah sekalipun terlapor melampirkan surat pengunduran dirinya sebagai persyaratan pada saat mendaftar, itu yang pertama, tuturnya.

Pihak pelapor pun menegaskan yang menjadi pokok gugatan bukan terkait dugaan status keanggotaan ganda Muhammad Rais antara Partai Berkarya dan Gerindra. Namun, terkait persyaratan pencalonan terlapor ketika mendaftarkan diri sebagai Caleg Partai Gerindra.

Lanjut Alif, saat memberikan keterangan tertulis kepada Majelis Hakim Bawaslu, KPU Tarakan juga tidak melampirkan pengunduran diri terlapor, namun, hanya menyampaikan bahwa terlapor sudah menyerahkan surat pengunduran diri.

“Sehingga kami menganggap apa yang dipertunjukkan oleh Majelis pada saat persidangan itu dibuat-buat pengunduran dirinya. Karena asal-usulnya tidak jelas dari KPU juga tidak dilampirkan dari terlapor juga tidak dituangkan di bukti surat dari jawaban terlapor, ” katanya.

Menurutnya, berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) nomor 10 tentang syarat pencalonan anggota dewan perwakilan rakyat daerah, pasal 12 juncto pasal 16 disebutkan, jika anggota DPRD yang mencalonkan diri di pemilu kemudian berpindah partai wajib mengajukan surat pengunduran diri.

“Sehingga secara tafsirnya pengunduran diri itu wajib diserahkan kepada partai politik sebelumnya, yaitu Partai Berkarya sehingga ketika itu tidak dilaksanakan secara materiil itu cacat,” ujar Alif.

Alif pun membantah keterangan tertulis KPU Tarakan dan kesimpulan Majelis Hakim yang menyatakan pasal 16 PKPU nomor 10 tidak terdapat kewajiban atau keharusan bakal calon menyampaikan dokumen atau salinan dokumen administrasi persyaratan calon terkait surat pengunduran diri kepada partai politik pemilu terakhir.

“Kami anggap Majelis tidak cermat dan tidak paham membaca aturan PKPU nomor 10 di pasal 16 itu sangat jelas disebutkan bahwa surat pengunduran diri itu harus sudah disertakan kalimat bahwa surat pengunduran diri ini telah disampaikan kepada partai politik pemilu terakhir,” tegasnya.

Selain itu, kata Alif, putusan yang dibacakan pada tanggal 13 Mei 2024 oleh Bawaslu Tarakan terjadi kerancuan antara amar putusan dan pertimbangan hukum. Menurutnya, Bawaslu Tarakan dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa KPU Tarakan tidak cermat melakukan verifikasi administrasi, namun, pada amar putusan menyatakan terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran administrasi.

“Secara teori hukum putusan ini kita anggap cacat kenapa karena pertimbangan majelis dengan amar putusan berbeda, kontra produktif di pertimbangan. Majelis mengatakan KPU tidak cermat karena si terlapor tidak menyampaikan pengunduran diri kepada Partai Berkarya tapi di putusan dia nyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran administrasi,” ucap Alif.

Tak sampai disitu, hasil koreksi putusan di Bawaslu RI pun Alif menilai masih terjadi kerancuan. Putusan hasil koreksi tersebut menurutnya, tidak menjelaskan pertimbangan hukum atas dalil-dalil yang diajukan pihaknya dan terkesan hanya mengcopy-paste putusan Bawaslu Tarakan.

“Kita sampaikan permohonan koreksi kita lengkap dengan dalil-dalil pertimbangan hukumnya, kemudian dari putusan koreksi ini Bawaslu RI sama sekali tidak menyentuh pertimbangan hukum. Jadi kalau di baca putusan Bawaslu RI ini cuma di copas permohonan koreksi kami, jawaban koreksi dari terlapor kemudian langsung menyatakan bahwa Bawaslu Tarakan tidak melakukan kesalahan dalam penerapan hukum,” kata Alif.

“Seharusnya ketika koreksi ini ditolak oleh Bawaslu RI secara normatif dalam pembuatan putusan, ini harus diuraikan apa hasil rapat pleno mereka dan apa pertimbangan hukum mereka menolak koreksi ini. Tapi ini sama sekali tidak disentuh satu poin pun pertimbangan hukum tidak disampaikan kepada kita,” sambung Alif.

Kerancuan putusan itu, menurut Alif, dikuatkan dengan adanya kekeliruan dalam Bawaslu RI dalam penulisan putusan, “Di putusan koreksinya di poin 3.10 halaman 14, ada kekeliruan dan ketidakprofesionalan Bawaslu RI di dalam membuat putusan. Dimana disebutkan, menimbang bahwa putusan Bawaslu ‘Kota Kendari’ tidak terdapat hal-hal yang bertentangan hukum, sehingga kita berpendapat putusan ini sangat-sangat cacat lah. Dia melaporkan koreksi dari Kota Tarakan tapi dia uraikan di kesimpulan Bawaslu ‘Kota Kendari’ ini secara hukum pembuatan putusan seperti ini cacat secara formiil maupun secara materiil,” terangnya.

“Jadi upaya hukum kita selanjutnya yang pertama yang paling jelas kita tidak mungkin diam dengan putusan yang ngaco seperti ini. Kita akan laporkan KPU Tarakan, Bawaslu Tarakan, sampai ke Bawaslu RI kita akan laporkan ke DKPP. Karena bukti-bukti kita jelas kesalahan dalam penerapan hukum dan kecacatan dalam persidangan secara formil dan materiiil,” beber Alif.

Terpisah, Ketua Bawaslu Tarakan, Riswanto saat dikonfirmasi enggan berkomentar banyak soal akan dilaporkan pihak pelapor ke DKPP. Menurutnya, perkara tersebut telah tuntas dan baginya itu bagian dari resiko pekerjaan.

“Kalau kami dilaporkan ke DKPP silahkan, itu haknya setiap orang mengadukan siapa dan siapa. Nggak jadi masalah buat kita. Intinya persidangan sudah selesai, kemudian mereka mengajukan koreksi ke Bawaslu RI juga menguatkan putusan kita. Terus apa lagi kita mau respon. Kami anggap itu sudah selesai. Resikonya penyelenggara pemilu kan memang begitu,” tukasnya. (*)

Don't Miss