TARAKAN, KATA NALAR – Dewan Pengurus Daerah (DPD) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kalimantan Utara menggelar Musyawarah Daerah (Musda) ke-2, Senin 22 Juli 2024 di Hotel Swissbell Tarakan. Kegiatan ini turut dihadiri Sekjen DPP HNSI, Lydia Assegaf dan unsur forkopimda Kaltara dan Tarakan.
Pada pelaksanaan Musda ini selain memilih ketua baru, namun juga merumuskan sejumlah agenda kerja dan program organisasi terkait pemberdayaan nelayan dan isu-isu strategis dibidang kelautan dan perikanan.
Ketua DPD HNSI Kalimantan Utara (Kaltara), Muhammad Nurhasan Al Huda dalam sambutannya turut menguraikan sejumlah persoalan perikanan yang ada di Kaltara. Ia mengatakan, Kaltara memiliki potensi perikanan yang cukup melimpah, hal itu dibuktikan dengan jumlah tambak di Kaltara seluas 142 ribu hektar. Namun, hal itu tidak sejalan dengan jumlah produksinya yang hanya mencapai 1000 ton per bulan.
“Laut pantai kita sangat luas, mulai dari sebatik sampai di tanah kuning. Tapi ikan tangkapannya juga sangat rendah, buktinya apa, hari ini tidak ada nelayan kita yang bisa menangkap ikan plagis. Ikan yang kita makan seperti ikan layang, ikan kembung itu tidak ada yang dari Tarakan dan Bulungan, semua dari luar. Artinya apa, kaltara belum mandiri. Makanya, perikanan kita harus dimaksimalkan,” tuturnya.
Nurhasan menyebut, persoalan tersebut lantaran belum memadainya sarana dan pra sarana para nelayan. Misalnya, alat tangkap nelayan di Kaltara belum memadai untuk melakukan penangkapan diluar dari 12 mil. Tercatat, baru 1 kapal yang memiliki kapasitas 30 GT yang menangkap ikan diluar 12 mil.
“Hanya satu kapal yang hari ini masih terdeteksi. Karena untuk menangkap keluar harus nenggunakan kapal-kapal besar karena arus lautnya berbeda, cara tangkapannya berbeda. Arus bawah dan arus bawah berbeda,” sebutnya.
Sebagai provinsi yang berbatasan dengan dua negara, Malaysia dan Filipina, kata Nurhasan, nelayan Kaltara masih belum mampu bersaing dengan dua negara tetangga tersebut. Kata dia, kapal-kapal di Sampoerna dan Tawau, misalnya, rerata memiliki volume di atas 60 GT. Selain itu peraturan-peraturan di sektor perikanan disebut sangat dilonggarkan, seperti diperbolehkan menggunakan kapal troll.
“Di Tarakan ini kapal-kapal paling 3 GT tapi jumlahnya banyak, disana jumlahnya cuma puluhan tapi diatas 60 GT sekali nangkap bisa 20-30 ton. Padahal mereka nggak punya laut, ketika ditanya dimana nangkapnya rata-rata nangkap di wilayah Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, persoalan lain belum adanya perusahaan cold storage di Kaltara yang menerima ikan jenis plagis dan tuna. Perusahaan cold storage di Kaltara sejauh ini hanya menerima udang dan bandeng.
“Di Kaltara ini cold storage spesialisasinya hanya 2 yaitu, udang dan bandeng. Untuk ikan-ikan yang lain tidak ada, kita tidak punya cold storage yang misalnya ikan tuna dan ikan plagis (ikan layang dan kembung) padahal itu punya market sendiri,” katanya.
Karena itu, kata Nurhasan, sebagai organisasi yang menaungi nelayan, HNSI Kaltara akan memperjuangkan sejumlah persoalan tersebut berikut dengan hak-hak nelayan untuk disampaikan kepada pemerintah. Pihaknya pun telah meakukan kajian terkait hal tersebut. Misalnya, perlunya dukungan anggaran untuk pengadaan 20 kapal tangkap berkapasitas diatas 100 GT.
“Sementara di Kaltara berbanding terbalik, karena nelayannya belum siap, inilah yang akan kami perjuangkan. Semoga bisa dikembangkan khususnya di PIT (penangkapan ikan terukur) Kaltara bisa dapat prioritas minimal 1000 ton per bulan. Kita sudah survey, kita butuh minimal 20 kapal tangkap diatas 100 GT, asumsinya kita butuh anggaran sekitar 100 miliar itu yang menyampaikan pak Menteri,” ungkapnya.
Tak hanya itu, perlunya dibangun pelabuhan pendaratan ikan terpadu yang berfungsi memonitoring aktivitas kapal-kapal nelayan serta perdagangan ikan.
“Kaltara belum memiliki pelabuhan pendaratan ikan yang terpadu representatif yang bisa menaungi nelayan masyarakat kaltara. Kalau di Sebatik punya SKPP, di Tarakan punya Pelabuhan tapi pelabuhan rakyat. Sehingga untuk memonitoring kapal ini dari mana, nelayan ini dari mana agak susah. Kita butuh Pelabuhan yang tersentral, disitu ada doc dan galangan kapal, ada juga cold storage, disitu ada juga instansi seperti Lantamal, Polairud, PSDKP, KSOP, dan lainnya supaya dia bisa mengawasi dan melayani semua disitu,” pungkasnya. (*)