TARAKAN, KATA NALAR – Pemilihan serentak yang dilaksanakan di Kalimantan Utara (Kaltara) merupakan momentum penting dalam proses demokrasi. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ini, juga memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi di daerah.
Hal itu disampaikan pengamat ekonomi Dr. Ana Sriekaningsih dalam sosialisasi dan pendidikan pemilih tahap kedua dalam rangka persiapan dan pasca pemilihan tahun 2024 di Hotel Duta, Kota Tarakan, Rabu, 11 Desember 2024.
Perlu diketahui, kegiatan ini terselenggara berkat kolaborasi antara Anggota Komisi II DPR RI Deddy Sitorus dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Ana mengatakan meskipun pelaksanaan pemilihan masih ada beberapa catatan perlu dievaluasi, tidak hanya menyangkut hasil pemilihan, tetapi juga proses, partisipasi, dan dampaknya bagi masyarakat serta ekonomi.
“Pilkada ini, sebenarnya memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi di daerah, termasuk Kaltara. Selama pemilu, pemerintah daerah mungkin meningkatkan belanja publik untuk infrastruktur dan pelayanan guna menarik suara,” katanya.
Pembangunan infrastruktur, dijelaskan Ana diantaranya jalan, jembatan, dan fasilitas publik lainnya, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Begitu juga pemimpin yang terpilih, dapat membawa kebijakan baru yang berdampak pada sektor-sektor tertentu, seperti pertambangan, perkebunan, dan pariwisata.
“Kebijakan ini bisa menciptakan peluang baru atau, sebaliknya, menimbulkan tantangan bagi pelaku ekonomi,” ujarnya.
Proses pemilu, sebut Ana sering kali disertai dengan ketidakpastian, yang dapat mengakibatkan perusahaan menunda investasi. Perubahan kebijakan atau ketidakpastian mengenai kepemimpinan baru dapat mempengaruhi kepercayaan pasar.
“Pemilu serentak dapat memperkuat hubungan sosial di antara masyarakat, namun juga bisa menimbulkan polarisasi atau konflik jika tidak dikelola dengan baik. Akibatnya stabilitas sosial berdampak langsung pada aktivitas ekonomi, dengan masyarakat yang lebih kohesif cenderung lebih mendukung pertumbuhan ekonomi,” tambahnya.
Kegiatan kampanye selama pemilihan, kata Ana juga dapat meningkatkan permintaan untuk produk dan layanan lokal, serta memberi dorongan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini bisa menciptakan lapangan kerja dan memperkuat basis ekonomi lokal.
Pemilu yang efektif, dijelaskannya juga mempromosikan pengawasan dan akuntabilitas dari para pemimpin. Pemerintah yang lebih akuntabel, dapat mendorong praktek-praktek ekonomi yang lebih baik dan mencegah korupsi.
“Ini juga merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Dampak pemilu juga akan terlihat dalam jangka panjang melalui kebijakan yang diambil oleh pemimpin terpilih. Kebijakan tersebut, ditambahnya bisa berfokus pada pembangunan berkelanjutan, penguatan ekonomi lokal, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
“Pada akhirnya dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Kaltara,” paparnya.
Pemilu serentak memiliki potensi dampak yang luas terhadap ekonomi Kaltara, baik positif maupun negatif. Begitu juga manfaat maksimum dari pemilu ini, akan tergantung pada pelaksanaan yang baik.
“Itu lah pentingnya partisipasi masyarakat, sehingga jika orang yang terpilih orang baik maka kebijakan yang diambil oleh pemimpin terpilih pasti akan memastikan pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan,” pesanya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Deddy Sitorus menyampaikan Komisi II DPR RI memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa pemilihan 2024 berjalan sesuai dengan prinsip demokrasi, dengan fokus pada efektivitas penyelenggaraan, partisipasi masyarakat, dan transparansi hasil pemilihan.
Salah satu pesan utama dalam sosialisasi ini adalah tentang bahaya politik uang dalam proses pemilihan. Deddy menegaskan pemimpin yang dipilih bukan karena kepintaran atau pengalaman, tetapi karena uang, tidak akan memperhatikan kepentingan rakyat.
Pemimpin seperti ini, menurutnya, hanya akan fokus untuk mengembalikan uang yang digunakan untuk membeli suara, bukannya menyelesaikan persoalan masyarakat.
“Jika kita memilih pemimpin dengan cara yang salah, kita akan kehilangan hak kita untuk mengelola persoalan-persoalan rakyat, seperti jalan rusak, pendidikan, atau bantuan sosial,” pesannya.
Politisi PDIP itu menekankan masyarakat telah memilih pemimpin dengan cara politik uang, mereka tidak akan bisa menuntut pertanggungjawaban, karena hubungan antara pemilih dan yang dipilih sudah terputus.
“Masyarakat hanya akan bertemu pemimpin mereka lima tahun sekali, dan itu tidak adil,” tegas Deddy. (*)