UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28H ayat (1), mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Rumah sakit merupakan salah satu sub sistem pelayanan kesehatan yang menjadi tempat rujukan bagi unit-unit pelayanan kesehatan dasar.
Penerapan kebijakan desentralisasi termasuk di bidang kesehatan, menempatkan rumah sakit daerah dalam sistem pemerintahan daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 36 terkait pengelolaan bahwa “Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit dan tata kelola klinis yang baik”.
RSUD Nunukan adalah rumah sakit umum daerah milik Pemerintah Kabupaten Nunukan dan salah satu rumah sakit tipe C. Rumah sakit rujukan dari 21 Kecamatan di perbatasan negara Indonesia-Malaysia yang menjadi bukti kehadiran negara dalam melayani kebutuhan kesehatan dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Alih-alih menciptakan pelayanan kesehatan yang ideal bagi masyarakat, RSUD Nunukan justru menjadi sumber penyakit bagi Pemerintahan. Sampai dengan hari ini kondisi RSUD Nunukan terancam bangkrut, utang menumpuk, obat habis atau dengan kata lain DIAMBANG KEHANCURAN.
Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nunukan menunggak utang obat-obatan, Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), Bahan Habis Pakai (BHP), dan lainnya sebesar Rp. 42.287.779. Sejak tahun 2021. Apabila mengacu pada anggaran RSUD Nunukan, utang tahun 2021 sebesar Rp. 3,5 miliar, utang tahun 2022 sebesar Rp. 8 miliar dan utang tahun 2023 sebesar Rp. 30,7 miliar. Dari rincian utang tersebut, RSUD sudah membayar tagihan sebesar Rp. 17.317.596.362 sehingga masih tersisa Rp. 24.970.182.698.
Kas RSUD Nunukan di bulan Mei 2024 adalah 0 Rupiah dihiasi dengan tunggakan air PDAM selama 5 bulan sekitar Rp 520 juta, tunggakan oksigen selama 3 bulan, dan tagihan listrik PLN yang perbulannya Rp 210 juta.
Persoalan ini pun berimbas pada PMI Nunukan yang juga ikut terlilit utang kepada vendor sebesar Rp 300 juta sebab pihak RSUD yang berutang kepada PMI. Hal ini mengakibatkan terhambatnya penyediaan sarana prasarana Unit Donor Darah (UUD) hingga tunjangan tenaga honorer.
Persoalan RSUD Nunukan yang berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), tidak hanya persoalan utang tetapi juga persoalan pelayanan kesehatan dimana pasien diminta menebus sendiri obat di apotek luar RS dan persoalan korupsi penyalahgunaan dana Covid-19 yang masih dalam proses penyidikan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari).
Bagian yang menarik dari persoalan ini adalah ketika RSUD Nunukan diberi penghargaan berupa Akreditasi Paripurna Bintang 5 oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) pada Januari lalu. Adapun indikator yang menjadi dasar pemberian penghargaan itu, terletak pada standar nasional akreditasi rumah sakit yang terdiri atas 15 Bab dan dua diantaranya adalah tata kelola rumah sakit dan manajemen fasilitas. Tentu berbanding terbalik dengan kondisi RSUD Nunukan yang sudah terjerat utang sejak 2021 sebab tata kelola dan manajemen fasilitas yang buruk. Padahal untuk bisa memperoleh Akreditasi Paripurna Bintang 5 suatu instansi harus mendapatkan nilai diatas 80% disetiap bab atau standar.
Berjalannya penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh RSUD tidak lepas dari tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 54 Ayat (2) yang diantaranya adalah “pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat, peningkatan mutu pelayanan kesehatan, keselamatan pasien, pengembangan jangkauan pelayanan, dan peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit”.
Dari amanat Undang-Undang tersebut jelaslah suatu hal mutlak bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh RSUD Nunukan tidak lepas dari tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan.
Tapi sejauh mana ini berlangsung dan apa tanggapan Pemerintah Kabupaten dalam menyikapi persoalan ini tentang tanggapan Bupati Nunukan, Asmin Laura Hafid, dalam satu kesempatan dibeberapa media online telah menyampaikan tangapan atas RSUD Nunukan kolaps. “Setelah dilakukan audit oleh Inspektorat dan BPK, baru ditemukan adanya kondisi utang RSUD”. Karena itu, Bupati mengaku heran dengan kondisi RSUD Nunukan yang berada di ambang kebangkrutan. Sebab, merujuk pada laporan, keuangan RSUD selalu surplus.
Hal ini merupakan sesuatu yang kontradiksi, mengingat pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Nunukan selalu meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Kaltara. Sedangkan RSUD Nunukan sebagai Lembaga Teknis Daerah (PPK-BLUD) bagian dari Pemkab Nunukan telah merugikan negara dan masyarakat melalui utang dan korupsi.
RSUD Nunukan bukan lagi lembaga teknis daerah yang memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di 21 Kecamatan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, namun menjelma menjadi sumber penyakit bagi negara. Penghargaan-penghargaan yang berhasil diraih, bukan berarti Pemkab Nunukan berprestasi melainkan bukti konkret bahwa berjalannya pemerintahan ini penuh dengan manipulasi.
Atas segala persoalan tersebut, Pemerintah Kabupaten Nunukan harus punya agenda reformasi. Rasanya juga tak salah apabila masyarakat menuntut pertanggungjawaban Bupati Nunukan selaku Kepala Daerah dengan mengambil langkah mencopot Direktur RSUD Nunukan, Dewas BLUD RSUD Nunukan, serta Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nunukan. (*)