Dark
Light
7 bulan ago
73 views

Jadi Saksi Ahli di MK, Prof Yahya Tegaskan Putusan Caleg Erick Tidak Bisa Dieksekusi

JAKARTA, KATA NALAR – Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yahya Ahmad Zein menjadi saksi ahli di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan yang dilayangkan PPP terhadap Calon anggota legislatif terpilih (Caleg) dari Partai Golkar, Dapil Tarakan Tengah, Erick Hendrawan Septian Putra, Kamis, 30 Mei 2024.

Dalam keterangannya, Yahya menegaskan bahwa sistem hukum pemilu Indonesia secara tegas membagi tahapan pemilu. Kata dia, aturan perundang-undangan telah menegaskan bahwa jalur mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi merupakan kewenangan Bawaslu sementara penyelesaian perselisihan hasil merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

“Dalam sistem pemilu kita proses pelanggaran administrasi sebagaimana yang tertuang di dalam UU Pemilu Pasal 466, UU 7 tahun 2017 itu dengan tegas menyatakan bahwa ‘sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten Kota’. Artinya untuk pelanggaran administrasi itu sangat berbeda dengan perselisihan hasil Pemilu,” tutur Yahya, dikutip dari kanal YouTube resmi Mahkamah Konstitusi.

Menurutnya, sistem hukum pemilu yang memisahkan antara pelanggaran administrasi dengan perselisihan hasil pemilu harus dilihat sejalan dengan kewenangan setiap lembaga negara yang berwenang menangani.

“Dalam penyelesaian sengketa untuk perselisihan hasil pemilu jelas di dalam Undang-Undang Dasar Pasal 24 C, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang 24 tentang Mahkamah Konstitusi. Kemudian Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang 48 tentang Kekuasaan Kehakiman di sana memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi. Artinya ada pemisahan yang tegas dalam hukum pemilu tersebut yang membedakan pelanggaran administrasi dengan perselisihan hasil pemilu,” katanya.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan ini pun memaparkan keharusan adanya keselarasan antara tuntutan dan dalil-dalil gugatan hukum yang diajukan oleh pemohon. Ketika tuntutan gugatan tidak sejalan dengan dalil-dalil yang diajukan pemohon, maka, bertentangan dengan prinsip substantierings teori yang menyatakan suatu gugatan tidak cukup hanya menyebutkan dasar hukum yang menjadi tuntutan, tetapi harus disebutkan pula kejadian-kejadian nyata yang mendahului dasar gugatan itu dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.

“Berdasarkan teori substantierings teori harus ada keselarasan antara petitum (tuntutan) dengan posita (dalil-dalil gugatan) itu. Maka kalau ada petitum yang jauh dari posita maka tentu saja hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip substantierings teori,” ujarnya.

“Penyusunan posita tidaklah cukup hanya menguraikan mengenai peristiwa dan hubungan hukum yang menjadi dasar permohonan, melainkan harus diuraikan pula bagaimana sejarahnya sampai terjadi peristiwa dan hubungan tersebut yang dalam konteks ini adalah permasalahan pelanggaran administrasi yang kemudian dianggap menjadi perselisihan hasil pemilu itu,” sambungnya.

Dalam penyelesaian pelanggaran administrasi, lanjut dia, Bawaslu memiliki kewenangan yang besar dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu. Kendati begitu, kata dia, sesuai Perbawaslu 7/2022 maupun Pasal 8 Undang-Undang 7, Pasal 454 penanganan tersebut memiliki batasan waktu yakni paling lama 7 hari sejak diketahui terjadinya peristiwa tersebut.

“Hal ini harusnya bukan tanpa batas tetapi harus dibatasi dengan tahapan yang sudah dijalankan. Majelis Hakim yang mulia tidak terbayangkan oleh saya apabila batas waktu 7 hari sejak diketahuinya (peristiwa hukum itu tetap dikabulkan) maka akan menabrak prinsip-prinsip penting dari tahapan-tahapan sistem pemilu yang sudah dibuat sedemikian rupa,” paparnya.

Karena itu dia menilai, putusan Bawaslu Tarakan dan selanjutnya yang diperkuat melalui hasil koreksi Bawaslu RI yang menyatakan Erick Hendrawan Septian Putra Tidak Memenuhi Syarat sebagai daftar calon anggota tetap (DCT) sebagai calon anggota legislatif merupakan jenis putusan Non Executable atau tidak bisa dieksekusi.

“Agar harus diperhatikan bahwa ada desain penanganan dugaan pelanggaran pemilu yang memang dibuat secara bertahap dari proses administrasi maka itu harusnya diselesaikan secara administratif kemudian kalau sudah berjalan sampai pada perhitungan suara bahkan potensi seseorang tersebut terpilih sebagai calon anggota legislatif tidak mungkin melaksanakan putusan yang seperti itu,” tegasnya.

Ia pun merasa proses pemilu cukup bermasalah apabila putusan tersebut dilaksanakan, sebab, menurutnya, seharusnya nama terlapor Erick Hendrawan tidak boleh ada dalam surat suara. Tak hanya itu, apabila putusan tersebut dilaksanakan maka bisa mencederai hak pilih masyarakat yang menaruh kepercayaan terhadap Erick Hendrawan saat pemilu lalu.

“Hal-hal ini yang kemudian saya berpendapat bahwa pada prinsipnya putusan tersebut Non Executable atau tidak dapat dilaksanakan karena mencederai prinsip-prinsip penataan tahapan dalam sistem pemilu dan kepercayaan publik akan tahapan yang sudah berlangsung dan itu sudah ditetapkan melalui mekanisme yang sudah ada,” sebutnya.

Yahya menyebutkan, berkenaan dengan aturan pembatalan calon anggota legislatif sesuai ketentuan Pasal 64 dan 63 Undang-Undang Pemilu kemudian pasal 286 dengan tegas disebutkan bahwa pembatalan itu jika terkait pelanggaran administrasi dilakukan secara terstruktur sistematis dan masif (TSM) serta terjadi tindak pidana pemilu berupa politik uang.

“Hanya dua hal itu yang menurut Undang-Undang Pemilu dalam sistem pemilu kita yang bisa dijadikan dasar pembatalan,” terangnya.

Secara rinci ia menguraikan syarat sebab terjadi pembatalan calon di dalam PKPU, di antaranya, meninggal dunia, terbukti melakukan pelanggaran kampanye terkait politik uang, serta melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen.

“Disebutkan bahwa orang bisa dibatalkan kalau dia meninggal dunia. Kedua terbukti melakukan pelanggaran pada saat kampanye berdasarkan putusan pengadilan dan sejalan dengan Undang-Undang yang menyatakan money politik, terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen. Ketiga tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota. Maka tidak boleh ada pembatalan atau pencoretan seseorang yang sudah dipilih melalui mekanisme konstitusional dalam pemilu,” pungkasnya.

Sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi pada 23 Maret 2024. Gugatan PHPU ini dilayangkan terkait putusan Bawaslu Tarakan kemudian diperkuat melalui putusan hasil koreksi Bawaslu RI yang menyatakan Erick Hendrawan sebagai Caleg Partai Golkar Dapil Tarakan Tengah peraih suara terbanyak tidak memenuhi syarat sebagai DCT.

Pihak PPP sebagai pemohon di dalam beberapa petitumnya meminta pihak termohon dalam hal ini KPU untuk menganulir suara Erick Hendrawan menjadi suara tidak sah serta meminta pihak pemohon dalam hal ini Jamaliah Caleg DPRD Tarakan Dapil Tarakan Tengah sebagai Calon terpilih. (*)

Don't Miss