(Sebuah catatan dan otokritik)
HUT Bhayangkara Polri ke-78 yang jatuh pada hari ini, 1 Juli 2024, harus dijadikan momentum pembenahan di tubuh kepolisian.
Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, dan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 30 Ayat 4 dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ironis, ketika Polri justru menjadi aktor pemegang monopoli kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), hingga koruptif yang masih mengalir dalam tubuh dan mewarnai perjalanan institusi tersebut.
Agenda Reformasi yang sudah berjalan selama dua dekade lebih ternyata membuktikan bahwa Polri belum berbenah dan cenderung mengkambinghitamkan “oknum”. Jika ada jargon yang omong kosong, mungkin salah satunya adalah “Reformasi Polri”. Bagaimana tidak? 20 tahun lebih sejak reformasi Kepolisian Republik Indonesia dimulai, kita terus mendengar seruan itu setiap kali muncul kisah polisi yang tercela. Seakan-akan istilah “Reformasi Polri” merupakan mantra pengusir hantu yang mujarab, meskipun hantunya tidak benar-benar hilang dan masih gentayangan, mengganggu serta meresahkan masyarakat.
Berbagai kejahatan yang melibatkan polisi masih terus terjadi. Tak terkecuali di Kalimantan Utara, seperti kasus personel Ditpolairud Polda Kaltara yang terlibat jaringan narkotika, kasus penembakan warga Kaliamok-Malinau, aksi koboi polisi Nunukan lakukan penganiayaan, atau yang paling eksis kasus Hasbudi TPPU Tambang Emas Ilegal. Apabila diruntutkan soal kedisiplinan internal Polda Kaltara melaporkan total pelanggaran personil selama tahun 2023 yakni untuk disiplin 68 orang, Kode Etik Profesi Polri 57 orang, tindak pidana 7 orang, pemberhentian tidak dengan hormat 7 orang dan tahanan 5 orang.
Tidak hanya di lingkup Kaltara tetapi se-Indonesia, daftar itu makin panjang jika kita menengok data Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Menurut kedua lembaga itu, jumlah laporan pelanggaran oleh polisi selalu menjadi salah satu yang terbanyak. Dalam hal kekerasan, pelanggaran HAM dan maladministrasi, seperti yang ditunjukkan data KontraS, sepanjang Januari – April 2024, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian dengan kategori pelanggaran yang bermacam-macam. Adapun catatan terakhir Komnas HAM tahun 2023, Kepolisian menempati peringkat paling atas sebagai institusi yang paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM dengan jumlah 771 kasus dari total 2.753 aduan. Kondisi serupa juga dapat dicermati dalam Laporan Tahunan Ombudsman RI dimana triwulan pertama terdapat 172 laporan dan triwulan kedua terdapat 156 laporan. Semua ini adalah bukti paling nyata dan mutakhir. Jika Reformasi Polri yang digulirkan lebih dari 20 tahun lalu berhasil, semestinya berbagai kasus tersebut tak muncul.
Selama ini polisi menyebut pelaku berbagai kejahatan itu “oknum”. Sanggahan semacam ini menutupi akar permasalahan yang sebenarnya, yakni persoalan struktural dan kultural di kepolisian. “Oknum” muncul dikarenakan kewenangan besar yang tak dibarengi pengawasan, sikap permisif terhadap gratifikasi, tumbuh suburnya kultur kekerasan, hingga relasi patron-klien antara atasan dan bawahan yang melahirkan budaya setoran serta cari muka.
Hal tersebut tentu mengakibatkan inkompetensi, ketidakprofesionalan, dan pembiaran berkembang, yang menyababkan polisi makin jauh dari reformasi. Alih-alih menjadi pengayom dan pelindung masyarakat, polisi menjadi pengabdi kekuasaan. Seruan “Reformasi Polri” akhirnya hanya menjadi narasi yang tinggal ilusi.
Adapun perayaan Hari Ulang Tahun ke-78 Bhayangkara juga sekedar seremonial yang mewah dan meriah, tidak berdampak apapun bagi masyarakat, bahkan gagal menunjukkan komitmen serius memperbaiki dan melanjutkan agenda Reformasi Polri. Kepolisian terlalu arogan untuk merefleksikan diri ke inti persoalan, yakni mengambil langkah politik untuk menghentikan budaya korupsi di lembaga itu. Benar korupsi, dilansir dari Indekxmudi.com, Indonesia berada di peringkat ke-1 sebagai negara dengan KEPOLISIAN TERKORUP di Asia Tenggara. Selama ini polisi bukan menyetop gaya hidup mewah melainkan mereka (para jenderal, istri, dan keluarga) hanya menyetop pamer kekayaan di media sosial.
Menghadapi berbagai sorotan, polisi sibuk memperbaiki indeks kepercayaan publik lewat survei yang saat ini mencapai 76,4%. Kita tahu persepsi publik adalah variable yang dipengaruhi banyak hal dan tidak sepenuhnya didasari pengetahuan responden terhadap obyek yang dinilai. Lebih dungu lagi, pada bagian lain, indeks didapat dari percakapan di media sosial yang dalam praktiknya dapat dimobolisasi oleh polisi itu sendiri.
Reformasi Polri perlu komitmen kuat dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Kapolri, dan seluruh pemangku kepentingan. Mengharapkan polisi menjadi baik tapi diam-diam menikmati praktik lancung aparatur penegak hukum itu merupakan sikap kemunafikan yang nyata.
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa engkau adalah Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. (QS. Al-Munafiqun).